Gambar Postingan

Perkenalkan namaku Gilang dari surabaya, Di cerita ini ingin berbagi pengalaman ngentot dengan adik ipar. saat itu aku mengantarkan adik iparku, Laras, mengikuti tes di sebuah perusahaan di kota pahlawan ini. Siang itu, aroma khas Surabaya, perpaduan asap kendaraan dan sedikit bau masakan pinggir jalan, menyelimuti udara. Gedung pencakar langit menjulang, salah satunya gedung perusahaan tempat Laras akan berjuang.

Aku duduk di lobi yang luas, kursi-kursi empuk berjajar rapi. Sesekali mataku melirik jam dinding di atas resepsionis. Detik demi detik terasa lambat. Di luar, klakson kendaraan saling sahut. Di dalam, pendingin ruangan bekerja optimal, membuat suasana tetap sejuk meskipun di luar sana terik membakar. Laras, dengan kemeja rapi dan rok sepan hitamnya, sudah masuk ke ruangan tes sejak satu setengah jam yang lalu. Pukul sebelas siang tepat, pintu ruangan tes terbuka. Laras melangkah keluar, wajahnya sedikit pias namun ada senyum tipis di bibirnya.

“Gimana, Ras? Bisa semua?” tanyaku begitu Laras sampai di hadapanku.

“Bisa, Mas,” jawabnya singkat, suaranya sedikit serak.

“Kalau gitu, ayo kita pulang,” ajakku.

“Eits, tunggu dulu, Mas,” Laras menahan tanganku. “Sebelum pulang, kita makan dulu, Mas. Aku lapar banget.”

Aku tertawa kecil. “Oke, siap, Nona Putri!”

Kami memutuskan untuk mencari tempat makan tidak jauh dari sana. Perut sudah keroncongan. Sepiring nasi pecel lengkap dengan lauk ayam goreng dan segelas es teh manis ludes kami santap. Suasana warung makan ramai, obrolan pengunjung bercampur baur dengan dentingan sendok dan garpu. Laras makan dengan lahap, sesekali mengusap keringat di dahinya.

Selesai makan, kami berjalan kaki menuju halte bus. Tiba-tiba, Laras mengeluh. “Mas, kepalaku pusing banget. Rasanya masuk angin nih, gara-gara semalam kecapekan belajar,” katanya sambil memegang kening. Wajahnya agak pucat, pandangan matanya sedikit sayu. Dia memegang lenganku, sedikit gemetar.

Aku langsung panik. “Aduh, gimana nih, Ras? Biasanya kamu diapain kalau masuk angin?” tanyaku.

“Biasanya dikerokin, Mas,” jawabnya lesu.

“Wah, kalau di sini cari tukang kerok di mana ya?” Aku celingukan, mencari-cari plang penginapan atau apotek terdekat.

Laras hanya mengangguk lemas.

“Oke deh, kalau gitu sekarang kita cari losmen aja ya, buat ngerokin kamu,” putusku.

Kami berjalan perlahan. Laras bersandar padaku, langkahnya gontai. Aku mencari-cari papan nama penginapan. Tak jauh dari sana, ada sebuah minimarket. Aku mampir sebentar untuk membeli minyak kayu putih. Setelah itu, kami melanjutkan pencarian losmen. Kebetulan, ada sebuah losmen sederhana dengan cat hijau pudar dan plang nama yang sedikit berkarat. Terlihat bersih dari luar. Itulah yang kupilih.

Kami masuk. Aroma sabun dan sedikit bau kamper menyeruak. Resepsionisnya seorang ibu-ibu paruh baya yang ramah. Setelah memesan kamar, kami naik ke lantai atas dan masuk ke kamar nomor 11.

Kamar itu tidak terlalu besar, tapi cukup nyaman. Ada satu ranjang ukuran queen, lemari kecil, dan kamar mandi dalam. Jendela kamarnya menghadap ke jalan, terlihat lalu lalang kendaraan. Laras langsung duduk di tepi ranjang, menyandar pada sandaran kepala.

“Terus, gimana cara Mas ngerokin kamu, Ras?” tanyaku. Aku merasa canggung, ini pertama kalinya aku akan mengerok adik iparku.

Tanpa banyak bicara, Laras langsung merebahkan diri di kasur, tengkurap. Dia sudah menganggapku seperti kakak kandungnya sendiri. Entah mengapa, jantungku berdegup lebih kencang. Deg-deg.

Aku segera menghampirinya. Laras menggeser tubuhnya sedikit, memberi ruang bagiku untuk duduk di sampingnya.

“Sini, Mas kerokin,” ucap Laras pelan.

JDUG!

Seketika, Laras membuka kancing kemejanya. Bukan hanya itu, dia membuka lebar-lebar kemejanya hingga terlepas dari tubuhnya. Yang tersisa hanya BH putih yang menutupi bagian atas tubuhnya. Aku terbelalak. Payudaranya terlihat padat dan berisi, menekan kain BH-nya. Sekilas, terlihat kulitnya yang putih mulus di bagian bahu dan punggung atas. Aku menelan ludah. GLEK.

Dengan gemetar, aku membuka tutup botol minyak kayu putih. Aromanya langsung memenuhi ruangan. Aku menuangkan sedikit minyak ke telapak tanganku, menggosoknya sebentar hingga hangat, lalu mulai mengoleskan ke punggung Laras. Kulitnya terasa lembut di bawah sentuhanku. Aku mulai mengerok punggungnya dengan koin yang sudah kupersiapkan. Srek... srek...

Baru beberapa kali kerokan, Laras kembali bersuara. “Entar dulu, Mas. BH-ku aku lepas sekalian ya, biar nggak mengganggu Mas ngerokin aku,” katanya.

DUARR!

Duniaku serasa berhenti berputar. Aku terbelalak. Laras melepaskan kaitan BH-nya. KLETAK! BH putih itu melorot, lalu terlepas dari tubuhnya. Di depanku, payudaranya yang besar dan ranum terpampang nyata. Putingnya masih memerah, jelas sekali menunjukkan bahwa dia masih perawan. Aku berusaha menormalkan napasku, tapi sia-sia. Tenggorokanku terasa kering.

Tanpa rasa malu lagi, aku melanjutkan mengerok punggungnya. Garis-garis merah mulai muncul di punggung Laras. Suasana hening, hanya ada suara kerokan dan kadang-kadang Laras mendesah pelan.

Setelah selesai mengerok seluruh punggungnya, aku berkata, “Sudah, Ras. Sudah selesai.”

Tanpa kusadari, Laras membalikkan badannya, telentang menghadapku. Dadanya yang telanjang kini tepat di depan mataku. Jantungku serasa mau copot!

“Sekarang bagian dadaku, Mas, tolong dikerok sekalian,” pinta Laras, matanya menatapku polos.

Hatiku bersorak. YESS! Jelas sekali, buah dadanya yang ranum dan padat itu kini terjangkau tanganku. Aku meraih koin dan mulai mengoleskan minyak kayu putih lagi. Perlahan, tanganku menyentuh bagian atas dadanya, sedikit meleset ke samping buah dadanya.

“Maaf, Dik ya, aku nggak sengaja kok,” kataku, pura-pura. Padahal, tanganku memang sengaja.

“Nggak apa-apa, Mas, teruskan saja,” jawab Laras santai.

Aku mulai mengerok bagian dada Laras. Srek... srek... Kali ini, tanganku bergerak lebih pelan. Jari-jariku sesekali menyentuh pinggiran payudaranya. Sensasi kulitnya yang halus membuatku semakin kalap. Hampir selesai mengerok dadanya, akal sehatku sudah menghilang entah ke mana. Aku tidak bisa menahan diri lagi. Perlahan, tanganku berpindah dari koin ke payudaranya. Aku menggenggamnya, meremasnya lembut.

Laras hanya diam, matanya terpejam rapat. Wajahnya sedikit memerah.

Aku semakin berani. Kucium buah dadanya, menghirup aroma sabun bercampur keringat yang menguar dari tubuhnya. Lalu, bibirku mulai bermain di sekitar putingnya, mencumbu dengan lembut.

“Mas... Mas... ahh... ah ah ahh...” desis Laras. Napasnya mulai memburu.

Aku semakin bernafsu. Kupindah bibirku ke puting Laras, mengulumnya dengan rakus. Sementara tanganku, tak mau ketinggalan, mulai bergerilya ke bawah, menuju vaginanya.

Pertama, dia mengibaskan tanganku. “Jangan, Mas... jangan, Mas...” katanya lirih.

Tapi aku tidak peduli. Hasratku sudah di ubun-ubun. Terus saja aku memasukkan tanganku ke dalam CD-nya. Ternyata, vaginanya sudah basah sekali. Ciprat! Suara itu membuatku semakin gila.

Tanpa menunggu perintah dari Laras, aku membuka rok dan CD-nya. Roknya kusibakkan, lalu CD-nya kutarik perlahan. Laras hanya memejamkan matanya, napasnya tersengal-sengal.

“Ya, Mas...” bisiknya pelan.

Kini Laras sudah telanjang bulat, tanpa sehelai benang pun. Wah, kulitnya putih mulus. Bulunya masih jarang, maklum, dia baru berumur 20 tahun. Pemandangan itu membuatku semakin tidak karuan.

Aku segera menciumi vaginanya yang basah, menjilatinya perlahan. Lidahku bermain-main di sekitar klitorisnya, memainkannya dengan lembut.

“Mas... ahh... uaa... uaa... Mas...” erang Laras, keenakan. Dia mendesis-desis kegirangan. Tangannya sudah tidak sabar ingin memegang penisku.

Aku bangkit berdiri, membuka baju dan celanaku sendiri. Sret! Begitu penisku terbebas, Laras langsung meraihnya dan mengocoknya. Hap! Genggaman tangannya terasa pas.

“Hisap, Ras,” pintaku.

“Nggak, Mas, jijik... tuh, nggak ah... Laras nggak mau,” tolaknya. Wajahnya sedikit mengernyit.

Aku tidak menyerah. Kupegang penisku dan kuarahkan ke mulutnya. “Jilatin saja, coba,” bujukku.

Perlahan, Laras menjilati penisku. Slurp... slurp... Lama-kelamaan, dia mulai mau mengulum penisku. Tapi saat pertama kali dia mengulum, dia langsung ingin muntah.

“Huk... huk... aku mau muntah, Mas, habis penisnya besar dan panjang... nggak muat tuh mulutku,” katanya, terbatuk-batuk.

“Hisap lagi saja, Ras,” pintaku.

Laras akhirnya mengulum lagi, kali ini lebih hati-hati. Aku menggerayangi vaginanya yang sudah basah kuyup. Ciprat!

Aku merentangkan tubuh Laras di kasur. Penisku sudah tidak tahan ingin merenggut keperawanan Laras.

“Laras, Mas masukkan ya, penis Mas ke vaginamu,” kataku.

Laras langsung menggeleng. “Jangan, Mas... aku takut,” katanya, suaranya bergetar.

Aku menuruti kemauannya, untuk sementara. Aku menidurkan dia kembali dan menggesek-gesekkan penisku di sekitar vaginanya.

Dia merasakan ada benda tumpul menempel di vaginanya. “Mas... Mas... jangan...” rintih Laras.

Aku tidak peduli. Terus kugesekkan penisku ke vaginanya. Sruk... sruk... Perlahan, aku mencoba memasukkan penisku ke dalam vaginanya.

Slep...

Laras menjerit, “Ahk... Mas... jangan...”.

Aku tetap meneruskan. Semakin kusodok, dan... slep... bles! Penisku masuk sepenuhnya. Laras menggeliat-geliat keenakan.

“Mas... Mas... Geliii... Mas... jangan...” rintihnya, kali ini bercampur tangisan.

Aku sudah tidak mempedulikan lagi. Penisku sudah terlanjur masuk. Aku mulai menggerakkan penisku maju mundur. Ngap... ngap... ngap...

“Ah... Mas... ah... Mas...” Rupanya Laras sudah merasakan nikmat dan mulai meringis-meringis kesenangan.

“Mas...” Dia mendesah.

Aku terus mempercepat genjotanku, maju mundur dengan cepat. Ngap... ngap... ngap... lebih cepat lagi!

“Mas... Mas...” Dan aku merasakan vagina Laras mengeluarkan cairan. Byur! Rupanya dia sudah klimaks, tapi aku belum.

Aku mempercepat genjotanku.

“Terus, Mas... terus, Mas... lebih cepat lagi...” pinta Laras, suaranya serak karena kenikmatan.

Tak lama, aku merasakan penisku hampir mengeluarkan mani. Aku cabut penisku dengan cepat, takut Laras hamil. Slep! Lalu, aku menyuruh Laras untuk mengisapnya.

Laras mengulum lagi. Slurp... slurp... Dia terus mengulum ke atas dan ke bawah, ritmenya semakin cepat.

“Hem... hem... nikmat, Mas...” desahku.

Aku bilang, “Terus, Ras... aku mau keluar nih...”

Laras mempercepat kulumannya. Dan... cret... cret! Maniku muncrat ke mulut Laras.

Laras segera mencabut penisku dari mulutnya. Sebagian maniku menyemprot ke pipi dan rambutnya.

“Ah... ah... Laras... maafkan Mas, ya... aku khilaf, Ras... maaf, ya!” kataku, terengah-engah.

“Nggak apa-apa, Mas... semuanya sudah terlanjur kok, Mas,” jawab Laras, suaranya masih sedikit serak. Lalu, dia bersandar di pangkuanku.

Kuciumi lagi Laras dengan penuh kasih sayang. Aroma tubuhnya yang khas dan sisa-sisa keringat membuatku semakin tergila-gila. Kami berpelukan erat, merasakan kehangatan yang baru saja kami ciptakan. Setelah itu, aku dan Laras pulang. Sejak kejadian itu, aku masih menanam cinta diam-diam dengan Laras, terutama saat istriku tidak ada di rumah. Perasaan bersalah kadang menghantuiku, tapi hasrat yang timbul setiap kali melihat Laras selalu lebih kuat.