Cerita Dewasa Adik Kandung

Namaku Gilang, dan kisah ini adalah rahasia terbesar dalam hidupku. Sebuah rahasia yang terjalin antara aku dan adik kandungku, Melati. Kami tinggal di sebuah rumah sederhana di Sukabumi, jauh dari hiruk pikuk kota. Ibuku adalah tulang punggung keluarga, seorang pengusaha kue rumahan yang setiap subuh sudah berjibaku dengan adonan dan ovennya, lalu mengantar pesanan ke berbagai warung dan pasar tradisional. Ayah sudah lama tiada, meninggalkan kami bertiga dalam keheningan yang kadang terasa menyesakkan.

Melati, adikku, adalah gadis pendiam, dua setengah tahun lebih muda dariku. Saat itu, dia masih duduk di bangku kelas satu SMA, dengan seragam putih abu-abu yang selalu tampak rapi melekat di tubuh mungilnya. Dia tidak banyak bergaul, cenderung menyendiri, dan tampaknya belum pernah merasakan indahnya pacaran. Mungkin karena waktunya lebih banyak dihabiskan di rumah, membantu Ibu memasak dan mencuci. Wajahnya manis, dengan mata yang selalu memancarkan kepolosan, dan rambut sebahu yang sering diikat asal-asalan. Siapa sangka, di balik kepolosannya itu, tersimpan gairah yang tersembunyi.

Sore itu, sepulang dari rumah temanku, Hendra, aku mendapati Melati sedang asyik menonton televisi. Acara telenovela favoritnya sedang diputar, dan di layar, dua pemeran utama saling berbagi ciuman panas. Aku hanya tersenyum tipis, lalu beranjak ke dapur, menyeduh kopi hitam kesukaanku. Suara gemericik air dari teko, aroma kopi yang menguar, dan asap rokok yang mengepul samar di udara. Ah, nikmatnya sore hari. Aku rebahan di sofa ruang tengah, menikmati setiap kepulan asap yang kuembuskan.

"Dih, serius banget nontonnya," godaku, menoleh ke arah Melati. Adegan ciuman di TV tadi memang agak vulgar, bahkan untuk ukuran telenovela. Melati langsung salah tingkah, pipinya merona merah jambu. "Apaan sih, Aa," sahutnya, suaranya sedikit tercekat, khas gadis yang malu-malu kucing.

Tak lama, serial itu selesai. Melati beranjak, "Mau ke belakang dulu, Aa," katanya, lalu menghilang ke dapur. Kudengar suara piring berdenting, berarti dia sedang mencuci piring. Aku mematikan TV yang sudah tak menarik lagi, lalu ikut ke kamar mandi. Kebelet pipis, jujur saja.

Saat melewati dapur, mataku langsung tertuju pada Melati yang sedang jongkok mencuci piring. Roknya sedikit terangkat, memperlihatkan belahan pantatnya yang bulat dan kencang. Duh, gila, jantungku langsung dag dig dug. Sensasi aneh menjalar di sekujur tubuhku. "Melati, geser dikit dong, Aa mau pipis nih," kataku, suaraku agak serak.

Setelah selesai buang air kecil, bayangan pantat Melati terus menari-nari di pikiranku. Sialan, pikirku. Dia adikku sendiri, polos, dan lugu. Aku tidak boleh berbuat macam-macam. Tapi, dasar setan, bisikannya semakin kuat. Bagaimana caranya aku bisa mencumbunya? Hasrat itu membara, begitu cepat merasuki otakku.

Aku kembali ke ruang tengah, tapi mataku terus mencuri pandang ke arah Melati yang masih sibuk di dapur. Entah dorongan apa, tiba-tiba saja aku beranjak, berjalan menghampirinya, dan memeluk tubuhnya dari belakang sambil mencium tengkuknya. Aroma sabun cuci piring bercampur wangi tubuhnya yang lembut langsung memenuhi hidungku. Aku mencium tengkuknya, menghirup aroma itu dalam-dalam.

"Aaa!" jerit Melati terkejut. Dia meronta, berusaha melepaskan diri dari dekapanku. Seketika, aku tersadar. Astaga! Apa yang barusan kulakukan? Memalukan! Aku melepaskan pelukanku. Melati sudah sesenggukan, terisak-isak, lalu berlari masuk ke kamarnya.

"Melati! Melati, tunggu!" Aku mengejarnya. Berhasil menyelinap masuk sebelum dia menutup pintu kamarnya. Dia sudah telungkup di ranjang, bahunya bergetar menahan tangis.

"Maafin Aa, Melati, Aa tadi salah," kataku, mendekatinya dan duduk di tepi ranjang. "Terus terang, Aa nggak tahu kenapa bisa sampai begitu."

Dia hanya menangis. "Melati, maafin Aa, ya. Jangan dilaporin sama Ibu," bisikku, agak takut.

"Aa jahat!" jawabnya, terisak.

"Melati, maafin Aa. Aa berbuat begitu tadi karena nggak sengaja lihat belahan pantat kamu, jadinya Aa nafsu. Lagian kan Aa udah seminggu ini putus sama Teteh Devi," kataku, berusaha jujur.

"Apa hubungannya putus sama Teteh Devi dengan meluk Melati?" tanyanya, suaranya masih tersendat-sendat.

"Yah, Aa nggak kuat aja pengen bercumbu," jawabku jujur.

"Kenapa sama Melati?" tanyanya lagi, kali ini nada suaranya sedikit lebih tenang.

Aku terdiam. Tak ada lagi kata-kata yang bisa kuucapkan. Kamar Melati sunyi, hanya terdengar suara isak tangisnya yang mulai mereda. Di luar, hujan mulai turun, gemericik air menambah suasana hening.

Aku mencoba memecah kesunyian. "Melati, biarin atuh Aa meluk kamu, kan nggak akan ada yang lihat ini," bujukku. Melati tidak menjawab, hanya terdiam. Aku mencoba membalikkan tubuhnya, menatap matanya yang sembab.

"Melati, lagian kan Melati pengen ciuman kayak di film tadi, kan?" kataku lagi, mencoba merayunya.

"Tapi Aa, kita kan adik kakak?" tanyanya, matanya mengerjap polos.

"Nggak apa-apa atuh Melati, sekalian ini mah belajar, supaya nanti kalau pacaran nggak canggung," rayuku.

Entah mengapa, setelah aku berkata begitu, dia terdiam. Wah, bisa nih! Batinku, senang. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan. Aku ikut berbaring di sampingnya, perlahan merangkul pinggangnya.

"Aa, Melati takut," katanya tiba-tiba.

"Takut kenapa, Sayang?" tanyaku.

"Ih, geli, panggil Sayang segala," cetusnya, sedikit terkekeh.

"Hehehe, takut sama siapa? Sama Aa? Aa mah nggak bakalan gigit kok," rayuku lagi.

"Bukan takut sama Aa, tapi takut ketahuan Ibu," jawabnya, suaranya lirih.

Mendengar itu, bukannya memberi alasan, bibirku langsung mendarat di bibirnya yang ranum. Lembut, hangat, dan sedikit basah. Aku merasakan Melati terkejut. Ini pertama kalinya bibirnya dicium, apalagi oleh kakak kandungnya sendiri. Dia berusaha menggeser tubuhnya ke belakang, tapi aku menariknya, mendekapnya lebih erat dalam pelukanku.

"Mmhh, mmhh... Aa, udah dong," pintanya. Aku menghentikan ciumanku, memandangi wajahnya yang memerah. Puas, meskipun hanya mencicipi bibirnya yang merah tipis itu.

"Melati, makasih ya, kamu begitu pengertian sama Aa," kataku tulus. "Kalau saja Melati bukan adik Aa, udah akan Aa…"

"Udah akan Aa apain?" bisiknya sambil tersenyum, memotong ucapanku.

Aku semakin gemas melihat wajah cantik dan polos adikku ini. "Udah akan Aa jadiin pacar atuh. Eh Melati, Melati mau kan jadi pacar Aa?" tanyaku lagi, nekat.

Dia terdiam sejenak, lalu bicara, "Tapi pacarannya nggak beneran kan," katanya, sedikit ragu.

"Ya nggak atuh Sayang, kita pacarannya kalau di rumah aja dan ini rahasia kita berdua aja, jangan sampai teman kamu tahu, apalagi sama Ibu," jawabku meyakinkannya.

Aku melirik jam dinding. Sudah pukul empat sore. Sebentar lagi Ibu pulang. "Udah jam empat tuh, sebentar lagi Ibu pulang. Aa mandi dulu ya," kataku. Aku bangkit dan segera meninggalkan kamar Melati.

Setelah kejadian itu, aku sempat tidak habis pikir. Apa yang barusan terjadi? Aku melamun di sofa, tenggelam dalam pikiranku sendiri. Tiba-tiba, suara Ibu mengejutkanku.

"Hayoo, ngelamun aja. Melati mana, udah pada makan belum?" kata Ibu, sambil membawa bungkusan.

"Ada tuh, Ibu bawa apa tuh?" Aku melihat bungkusan itu. Ternyata Ibu membeli bakso. Kami bertiga pun makan bakso bersama. Untungnya, setelah kejadian tadi siang, kami bisa bersikap wajar seolah tidak terjadi apa-apa, sehingga Ibu tidak curiga sedikit pun.

Malam harinya, aku termenung di kamar, mulai merencanakan sesuatu. Nanti subuh, setelah Ibu pergi ke pasar, aku ingin mengulangi percumbuan dengan Melati. Ingin tidur sambil mendekap tubuh adikku yang montok itu.

Keesokan harinya, aku terbangun ketika Ibu berpamitan kepada Melati, menyuruhnya mengunci pintu depan. Aku mendekati Melati yang akan bergegas masuk kamar kembali.

"Ehem, ehem, bebas nih," ujarku, menggodanya. Melati memang tidak banyak bicara. Dia seolah tahu apa yang ingin aku lakukan, tapi dia tidak berkata sepatah kata pun.

Karena hasratku sudah tidak tertahankan, aku langsung melabraknya. Memeluk tubuhnya yang sedang membelakangiku. Kali ini, dia diam saja saat aku memeluk dan menciumi tengkuknya. Dinginnya udara subuh tak terasa lagi. Kehangatan tubuh Melati mengalahkan hawa dingin kamar ini. Kontolku yang mulai ngaceng, ku gesek-gesekkan tepat di bongkahan pantatnya.

"Sayang, Aa pengen bobo di sini, boleh kan?" pintaku.

"Idih, Aa genit ah, jangan Aa, entar…"

"Entar kenapa?" timpalku.

Belum sempat dia bicara lagi, aku langsung membalikkan tubuhnya dan langsung memagut bibirnya yang sejak tadi siang membuat pikiranku melayang. Aku mendorongnya ke arah dinding, menghimpit hangat tubuhnya agar melekat erat denganku. Tanganku mencoba menyingkap dasternya, meraba paha dan pantatnya. Meskipun dia menyambut ciumanku, tangannya berusaha mencegah apa yang kulakukan.

Tapi aku tersadar, ciumannya kali ini berbeda dari yang tadi siang. Ciuman ini terasa lebih panas dan mengairahkan karena kurasakan adikku kini pun menikmatinya dan mencoba menggerakkan lidahnya untuk menari dengan lidahku. Aku tertegun. Ternyata diam-diam, adikku juga memiliki nafsu yang begitu besar, atau mungkin ini karena selama ini adikku belum pernah merasakan nikmatnya bercumbu dengan lawan jenis.

Kini, tanpa ragu lagi, aku mulai menyelinapkan tanganku untuk kembali meraba pahanya. Tubuhku berdebar-debar, denyut nadiku terasa sangat cepat, karena ini adalah untuk pertama kalinya aku meraba paha perempuan. Dengan pacarku sebelumnya, Dewi, aku belum pernah melakukan ini, karena Dewi pacarku lebih sering memakai celana jeans. Dengan Dewi, kami hanya sebatas berciuman.

Kini, yang ada dalam pikiranku hanyalah satu: aku ingin sekali meraba, menikmati yang namanya *heunceut* (vagina dalam bahasa Sunda) wanita hingga aku mulai mengarahkan jemariku untuk menyelinap di antara sisi-sisi celana dalamnya. Belum juga sempat menyelipkan jariku di antara *heunceut*nya, Melati melepaskan pagutannya. Mulutnya seperti ikan mas koki yang megap-megap, memeluk erat tubuhku, lalu menyilangkan kedua kakinya di antara pantatku sambil menekan-nekan pinggulnya dengan kuat.

Ternyata Melati telah mengalami orgasme.

"Aa... aah, eghh, eghh," rintih Melati, dibarengi hentakan pinggulnya. Sesaat setelah itu, Melati menjatuhkan kepalanya di atas bahuku. Aku membelai rambutnya karena aku pun sangat menyayanginya. Kemudian, aku membopong tubuhnya yang telah lunglai ini ke atas tempat tidur dan mengecup keningnya.

"Gimana Sayang, enak?" bisikku. Aku hanya bisa melihat wajah memerah adikku ini yang malu dan tersipu. Sekilas, kulihat wajahnya manisnya seperti Nafa Urbach.

"Gimana rasanya, Sayang?" tanyaku lagi.

"Aa, yang tadi itu apa yang namanya orgasme?" Eh, malah balik bertanya adikku tersayang ini.

"Iya Sayang, gimana, enak?" jawabku sambil bertanya lagi.

"He-eh, enak banget," jawabnya sambil tersipu.

Entah mengapa, demi melihat kebahagiaan di wajahnya, aku kini hanya ingin memandangi wajahnya dan tidak terpikir lagi untuk melanjutkan aksiku untuk mengarungi lembah belukar yang terdapat di kemaluannya. Sesaat kemudian, karena kulihat matanya yang mulai sayu dan mengantuk akibat orgasme tadi, maka aku mengajaknya untuk tidur. Kami pun terus tertidur dengan posisi saling berpelukan dan kakiku kusilangkan di antara kedua pahanya. Hangat tubuh adikku kurasakan begitu nikmat sekali. Yang ada dalam pikiranku adalah betapa nikmatnya jika aku menikah nanti, pantas saja di zaman sekarang banyak yang kawin entah itu sudah resmi atau belum.

Tanpa terasa, aku pun sadar dan terbangun dari tidurku, dan kulihat jam di kamar adikku telah menunjukkan pukul sembilan lewat, dan adikku belum juga bangun dari tidurnya. "Wah, gawat, berarti dia hari ini tidak sekolah," pikirku.

"Melati, bangun, kamu nggak sekolah?" tanyaku, membangunkannya.

Melati pun mulai terbangun dan matanya langsung tertuju pada jam dinding. Dia terkejut karena waktu telah berlalu begitu cepat, sehingga dia sadar bahwa hari ini dia tidak mungkin lagi pergi ke sekolah.

"Aahh, Aa jahat, kenapa nggak ngebangunin Melati?" rajuknya manja.

"Gimana mau ngebangunin, Aa juga baru bangun," kataku, membela diri.

"Gimana dong kalau Ibu tahu, Melati bisa dimarahin nih, ini semua gara-gara Aa."

"Lho, kok Aa yang disalahin sih? Lagian Ibu nggak bakalan tahu kalau Aa nggak ngomongin kan," jawabku untuk menghiburnya.

"Bener ya, Melati jangan dibilangin kalau hari ini bolos."

"Iyaa, iyaa," jawabku.

Entah mengapa, tiba-tiba terlintas di pikiranku untuk mandi bareng. Wah, ini kesempatan emas, alasan tidak memberitahu Ibu bahwa dia tidak masuk sekolah bisa kujadikan senjata agar aku bisa mandi bersama adikku.

"Eh, ada tapinya lho, Aa nggak bakalan bilang sama Ibu asal Melati mau mandi bareng sama Aa," kataku sambil mengedipkan mata.

"Nggak mau. Aa jahat, lagian udah gede kan malu, masak mau mandi aja mesti barengan."

"Ya udah kalau nggak mau sih terserah," ancamku.

Singkat cerita, karena aku paksa dan dia tidak ingin ketahuan oleh Ibu, maka adikku menyetujuinya.

"Tapi Aa jangan macam-macam ya," pintanya.

"Emangnya kalau macam-macam gimana?" tanyaku.

"Pokoknya nggak mau, mendingan biarin ketahuan Ibu, lagian juga itu kan gara-gara Aa, Melati bilangin Aa udah ciumin Melati," balasnya mengancam balik.

Jika kupikir-pikir, ternyata benar juga, bisa berabe urusannya, seorang kakak bukannya menjaga adik dari ulah nakal laki-laki lain, eh malah kakaknya sendiri yang nakal. Maka, untuk melancarkan keinginanku untuk bisa mandi dengannya, aku pun menyetujuinya. Kami berdua akhirnya bangun dari tidur dan setelah berbenah kamar, kami berdua pun pergi menuju kamar mandi. Sesampai di kamar mandi, kami hanya saling diam dan kulihat adikku agak ragu untuk melepaskan pakaiannya.

"Aa balik dulu ke belakang, Melati malu nih," pintanya.

"Apa nggak sebaiknya Aa yang bukain punya Melati, dan Melati bukain punya Aa?"

Tanpa pikir panjang, aku menghampiri adikku dan mencium bibirnya. Agar dia tidak malu dan canggung untuk membuka pakaiannya, aku menggenggam tangannya dan menuntunnya untuk membuka bajuku. Tanpa dikomando, dia membuka bajuku setelah itu kutuntun lagi untuk membuka celana basket yang aku kenakan. Setelah keadaanku bugil dan hanya memakai celana dalam saja, kulihat adikku tegang, sesekali dia melirik ke arah selangkanganku dimana kontolku sudah dalam keadaan siaga satu.

Kini giliranku menanggalkan daster yang ia kenakan. Begitu aku buka, aku terbeliak dibuatnya karena ternyata tubuh adikku begitu bohai (body aduhai). Dia lalu berusaha menutupi selangkangannya. Lalu dengan sengaja kucolek payudaranya hingga adikku melotot dan menutupinya. Kemudian aku pun balik mencolek memeknya, hehehe…

"Idihh, Aa nggak jadi ah mandinya, malu," rajuknya. Adikku lalu mengambil handuk dan melilitkan handuk tersebut, kemudian melangkah keluar kamar mandi, tetapi karena aku tidak mau kesempatan emas ini kabur maka aku pegang tangannya dan terus aku peluk sambil kukecup bibirnya, karena ternyata adikku sangat merasa nyaman bila bibirnya aku cium. Aku lalu menarik handuknya hingga terlepas dan jatuh ke lantai, dan aku pepet tubuhnya ke arah bak air lalu gayung kuambil dan langsung kusiramkan ke tubuh kami berdua.

Merasakan tubuhnya telah basah oleh siraman air, adikku berusaha untuk melepaskan ciuman dan desakan yang aku lakukan, tapi usahanya sia-sia karena aku semakin bernafsu menyirami tubuh kami sambil kontolku aku tekan-tekan ke arah selangkangannya. Setelah tubuh kami benar-benar basah, aku bagai kemasukan setan. Selain menyedot bibirnya dengan ganas aku pun langsung mencoba untuk melepaskan celananya. Setelah celana dalamnya terlepas dari sarangnya hingga ke tepi lutut, aku pun menariknya ke bawah dengan kakiku hingga benar-benar terlepas.

Sadar bahwa aku akan berbuat nekat, Melati semakin berusaha untuk melepaskan tubuhnya. Sebelum usahanya membuahkan hasil, aku melepas pagutanku.

"Aa, stop, *please*," rengeknya sambil menangis.

"Melati, tolong Aa dong. Melati tadi subuh kan udah ngalami orgasme, Aa belum…" pintaku.

Dan tanpa menunggu waktu lagi, di saat tenaganya melemah, aku kangkangkan pahanya sambil mengecup bibirnya kembali sehingga dia tidak bisa menolaknya. Di saat itu, aku meraih burungku dari CD-ku dan mencoba mencari sarang yang sudah lama ini ingin kurasakan. Dalam sekejap, kontolku sudah berada tepat di celah pintu *heunceut* adikku, dan siap untuk segera menjebol keperawanannya. Merasa telah tepat sasaran, maka aku pun menghentakkan pinggulku. Dan aku seperti benar-benar merasakan sesuatu yang baru dan nikmat melanda seluruh organ tubuhku dan kudengar adikku meringis kesakitan tapi tidak berusaha untuk menjerit.

Melihat hal itu, aku mencoba untuk mengontrol diriku dan mencoba menenangkan perasaan yang membuatku semakin tak karuan, karena aku merasa diriku dalam keadaan kacau tetapi nikmat hingga sulit untuk diuraikan dengan kata-kata. Aku mencoba hanya membenamkan penisku untuk beberapa saat, karena aku tak kuasa melihat penderitaan yang adikku rasakan. Kini pandangan aku alihkan pada kedua payudara adikku yang masih diselimuti BH-nya.

Aku mencoba untuk melepaskannya tapi mendapat kesulitan karena belum pernah sekalipun aku membukanya hingga aku hanya bisa menarik BH yang menutupi payudara adikku dengan menariknya ke atas dan tiba-tiba dua bongkah surabi daging yang kenyal menyembul setelah BH itu aku tarik. Melihat keindahan payudara adikku yang mengkal dan putingnya yang bersemu coklat kemerahan, aku pun tak kuasa untuk segera menjilat dan menyedotnya senikmat mungkin.

"Aa, ahh, sakit," rintih adikku.

Seiring dengan kumainkannya kedua buah payudara adikku silih berganti maka kini aku pun mencoba untuk menggerakkan pinggulku maju mundur, walau aku juga merasakan perih karena begitu sempitnya lubang *heunceut* adikku ini. Badan kami kini bergumul satu sama lain dan kini adikku pun mulai menikmati apa yang aku lakukan. Itu dapat aku lihat karena kini adikku tidak lagi meringis tetapi dia hanya mengeluarkan suara mendesah.

"Eenngghh, acchh, enngg, aacchh."

"Gimana, enak?" aku mencoba memastikan perasaan adikku. Dia tidak menjawab bahkan kini justru tangannya meraih kepalaku dan memapahnya kembali mencium mulutnya. Karena aku tidak ingin egois maka aku pun menuruti kehendaknya. Aku kulum bibirnya dan lidah kami pun ikut berpelukan menikmati sensasi yang tiada tara ini. Tanganku kugunakan untuk meremas payudaranya.

Gila, kenikmatan ini sungguh luar biasa, kini aku pun mencoba untuk menirukan gaya-gaya di film BF yang pernah kulihat. Adikku kuminta menungging dan tangannya memegang bak mandi.

Aku berbalik arah dan mencoba untuk segera memasukkan kembali kontolku ke dalam memeknya, belum sempat niat ini terlaksana aku segera mengurungkan niatku, karena kini aku dapat melihat dengan jelas bahwa *heunceut* adikku merekah merah dan sangat indah. Karena gemas aku pun lalu berjongkok dan mencoba mengamati bentuk *heunceut* adikku ini hingga aku melongo dibuatnya. Mengetahui aku sampai melongo karena melihat keindahan *heunceut*nya, adikku berlagak sedikit genit, dia goyangkan pantatnya bak penyanyi dangdut sambil terkikik cengengesan.

Merasa dikerjai oleh adikku dan juga karena malu, untuk membalasnya aku langsung saja membenamkan wajahku dan kuciumi *heunceut* adikku ini, hingga kembali dia hanya bisa mendesah…

"Ahh, Aa mau ngapain…, ochh, enngghh" desahnya sambil mengambil napas panjang.

Mmhh, ssrruupp, cupp, ceepp, suara mulutku menyedot dan menjilati *heunceut* adikku ini, dan aku perhatikan ada bagian dari *heunceut* adikku ini yang aneh, mirip kacang mungkin ini yang namanya *itil*, maka aku pun mencoba untuk memainkan lidahku di sekitar benda tersebut.

"Acchh, Aa, nnggeehh, iihh, uuhh, gelii", erangnya saat aku memainkan *itil*nya tersebut. Karena mendengar erangannya yang menggoda aku pun tak kuasa menahannya dan segera bangkit untuk memeluk adikku dan memasukannya kembali dengan cepat kontolku agar bersemayam pada *heunceut* adikku ini. Baru beberapa kocokan kontolku di memeknya, adikku seakan blingsatan menikmati kenikmatan ini hingga dia pun meracau tak karuan lalu…

"Aa, Melatihh, eenngghh, aahh…"

Rupanya adikku baru saja mengalami orgasme yang hebat karena aku rasakan di dalam memeknya seperti banjir bandang karena ada semburan lava hangat yang datang secara tiba-tiba. Kini aku merasakan kenikmatan yang lain karena cairan tersebut bagai pelumas yang mempermudah kocokanku dalam *heunceut*nya. Setelah itu adikku kini lunglai tak bertenaga, yang ia rasakan hanya menikmati sisa-sisa dari orgasmenya dan seperti pasrah membiarkan tubuhnya aku entot terus dari belakang.

Mengetahui hal itu aku pun kini mengerayangi setiap lekuk tubuh adikku sambil terus mengentotnya, mulai dari mencium rambutnya, menggarap payudaranya sampai-sampai aku seperti merasakan ada yang lain dari tubuhku, ada perasaan seperti kontolku ini ingin pipis tapi tubuh ini terasa sangat-sangat nikmat.

"Aa, udah… Aa, Melati udah lemes…" kata adikku.

"Tunggu Sayangg, Aa maauu nyampai nih, oohh"

Kurasakan seluruh tubuhku bagai tersengat listrik dan sesuatu cairan yang cukup kental aku rasakan menyembur dengan cepat mengisi rahim adikku ini. Sambil menikmati sisa-sisa kenikmatan yang luar biasa ini aku memegang pantat adikku dan aku hentakkan pinggulku dengan keras membantu kontolku untuk mencapai rongga rahim adikku lebih dalam. Kami berdua kini hanya bisa bernafas seperti orang yang baru saja berlari-lari mengejar bis kota.

Setelah persetubuhan yang terlarang ini kami pun akhirnya mandi, dan setelah itu karena tubuhku lemas maka aku tiduran di sofa sambil menikmati acara televisi dan adikku kulihat kembali melakukan aktifitasnya membereskan rumah meskipun tubuhnya jauh lebih lemas.